[sebuah refleksi pribadi di akhir tahun 2023]
Salah satu ungkapan yang sangat terkenal dari Yesus adalah: “Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba dombanya.” Yohanes 10:11. Pernyataan Yesus tersebut bukan sekadar janji, tetapi Ia benar benar membuktikan bahwa Ia merelakan nyawa-Nya bagi keselamatan dan kehidupan domba-domba-Nya. Yesus sebagai Gembala yang baik tidak perlu diragukan lagi, sebab Ia rela meninggalkan sorga yang mulia dan turun ke dunia menjadi manusia untuk menebus dosa dan menyelamatkan manusia adalah kasih yang tidak ada bandingannya. Lalu, apakah yang diharapkan Tuhan Yesus dari manusia melalui pengorbanan-Nya itu? Manusia dibebaskan dari belenggu dosa, ditebus dari hukuman kematian kekal karena dosa, kembali dalam persekutuan yang baik dan benar dengan Allah, dan bahagia dalam menjalani hidup dalam tuntunan dan terang Allah. Semua dilakukan-Nya demi kebaikan manusia.
Tuhan Yesus adalah Gembala yang baik. Namun apakah kita adalah domba yang baik? Apakah kita terbiasa datang kepada-Nya, mendengarkan suara-Nya, percaya kepada-Nya, mengikuti-Nya dan melakukan yang menjadi perintah-Nya? Sebab Gembala yang baik itu menginginkan setiap kita menjadi domba yang baik. Sang Gembala itu menjaga kita agar tidak tersesat, agar terhindar dari bahaya (binatang buas), agar kita mendapatkan makanan yang sehat dan air minum yang menyegarkan. Ia juga memberikan perlindungan bagi kita, baik siang ataupun malam. Sungguh, apapun yang dilakukan-Nya adalah untuk kebaikan kita, domba-Nya. Namun sekali lagi, apakah kita adalah domba-domba-Nya yang baik?
Marilah sejenak kita berdiam diri dan melihat jauh ke dalam diri kita. Bagaimana kehidupan kita sejauh ini? Apakah cara kita berpikir, cara kita bersikap dan cara kita berperilaku mencerminkan pikiran, sikap dan perilaku Yesus, Gembala yang baik itu? Menjadi orang Kristen tidak otomatis menjadikan kita menjadi domba yang baik. Tidak jarang kita berkata bahwa kita mengasihi-Nya, kemudian mewujudkannya dalam pelayanan-pelayanan kita. Kita menjadi begitu sibuk dengan pelayanan ini dan itu, bahkan kemudian mendominasi waktu kita. Kita menjadikan gereja sebagai rumah kita yang kedua, dan bahkan lebih banyak berada di sana daripada di rumah sendiri. Tak jarang hal itu membuat anggota keluarga kita (pasangan, anak, orangtua) kehilangan kehadiran kita dan banyak tugas rumah tangga tidak tertangani dengan baik. Tentu saja terlibat dalam pelayanan itu baik, tetapi tanggung jawab kepada keluarga tidak boleh ditelantarkan. Ingat dengan peringatan Tuhan di dalam Wahyu 2:4 – “Namun demikian Aku mencela engkau, karena engkau telah meninggalkan kasihmu yang semula.” Berarti perhatian dan kasih kita beralih kepada sesuatu yang baru, dan kita telah meninggalkan hal-hal yang lama yang sesungguhnya masih membutuhkan kasih dan perhatian kita.Apakah kita telah mengalihkan perhatian dan kasih kita dari Firman dan suara-Nya melalui waktu teduh, doa dan perenungan firman Tuhan kepada “akitivitas-aktivitas rohani.”
Percayalah bahwa apa yang kita tampilkan tidak akan mampu menutupi
pandangan sang Gembala yang baik untuk melihat jauh ke dalam hati.
Tuhan memberkati.