Semua kita tentu sangat hafal dengan semboyan bangsa Indonesia, yaitu Bhineka Tunggal Ika, yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu. Akan tetapi kita pun menyadari betapa sulitnya untuk mengimplikasikan secara nyata semboyan tersebut dalam realita kehidupan sehari-hari. Terlihat jelas bagaimana seringkali perbedaan menjadi pemisah, termasuk mengakibatkan retaknya persahabatan dan rusaknya persaudaraan, oleh karena pandangan serta pilihan yang berbeda. Bukankah hari-hari ini juga terlihat bagaimana sikap intoleran demikian merebak dan beranak pinak, bahkan entah sampai kapan semuanya akan pulih. Teringat apa yang diungkapkan oleh Gus Mus:
“Ateis dimusuhi karena tidak bertuhan,
Bertuhan dimusuhi karena Tuhannya beda,
Tuhannya sama dimusuhi karena nabinya beda,
Nabinya sama dimusuhi karena alirannya beda,
Alirannya sama dimusuhi karena pendapatnya beda,
Pendapatnya sama dimusuhi karena partainya beda,
Partainya sama dimusuhi karena pendapatannya beda.Apa kamu mau hidup sendirian di muka bumi untuk memuaskan nafsu keserakahan?“
Sesungguhnya setiap orang menyadari bahwa perbedaan dan keberagaman merupakan sebuah realita yang tidak mungkin kita tolak, dan kemudian perbedaan tersebut disatukan dalam satu bingkai, yaitu Indonesia. Bisa kita bayangkan seandainya pendiri bangsa Indonesia tidak merumuskan semboyan Bhineka Tunggal Ika, walau berbeda tetapi kita tetap satu, Indonesia. Tentu akan sangat mengerikan kondisi bangsa kita ini, bukan?
Satu hal yang paling sederhana tentang perbedaan adalah keluarga, sebuah lingkup terkecil. Saya dan istri saya mempunyai banyak kesamaan, antara lain: kami memiliki garis keturunan Tionghoa, kami sama-sama lulusan dari Sekolah Teologi di Bandung ini, dan kami sama-sama beragama Kristen. Namun tentu saja perbedaan di antara kami juga banyak, yang jelas beda jenis kelamin. Kalau sama wah repot! Emangnya saya cowok apaan? Secara sosial ekonomi juga berbeda karena saya dibesarkan di desa, sedangkan istri saya dibesarkan di kota. Dalam hal selera makanpun berbeda, karena saya menyukai masakan Jawa, sementara istri saya tentu saja menyukai masakan Jawa Barat dan chinese food. Dalam banyaknya perbedaan, namun kami menyadari bahwa kami harus bersama.Hingga detik ini, proses penyesuaian masih terjadi terus menerus, bahkan akan terjadi di sepanjang hayat. Salah satu hasilnya, kini istri saya bisa masak ‘sayur lodeh’ dan menyukai pecel lele, dan saya pun mulai bisa menikmati ‘comro’ dan ‘fuyunghai’. Bagi saya, ini sesuatu yang luar biasa.
Kami juga bertumbuh dengan life style yang berbeda, karena masa kecil saya banyak dihabiskan bermain di luar rumah. Dari mandi di sungai, mencari kayu di hutan, berburu, sampai mencari belut dan katak di sawah. Sedangkan masa kecil istri saya lebih banyak bermain ‘halma’ di rumah bersama keluarganya. Hal ini turut memengaruhi pola asuh kami di keluarga saya sekarang. Sebagai contoh, masalah pamit sebelum pergi dari rumah adalah wajib bagi istri saya, tetapi bagi saya itu sesuatu yang sifatnya ‘sunah’. Nampaknya sepele, tetapi perlu disikapi juga.Sejujurnya, dalam kehidupan secara holistik, terkadang kita ini juga masih bersikap diskriminatif, walaupun mungkin tidak vokal dan frontal.
Dari Yohanes 4:1-42, kita belajar dari Tuhan Yesus tentang bagaimana bersikap menghadapi perbedaan. Dikatakan bahwa suatuhari di sumur Yakub, Yesus bertemu dengan perempuan Samaria. Kaum Samaria dianggap kafir oleh bangsa Yahudi dan mereka tidak bergaul dengan orang kafir. Namun Tuhan Yesus mematahkan sikap diskriminatif tersebut. Justru Tuhan Yesus menceritakan misi-Nya di dunia ini, dan perempuan Samaria itupun menjadi percaya. Bahkan perempuan Samaria tersebut kemudian dipakai Tuhan Yesus untuk menyebarkan kabar keselamatan kepada orang-orang Samaria. Luar biasa bukan?
Sadarkah kita, bahwa tidak kebetulan jika kita diciptakan berbeda dan beragam oleh Tuhan? Karena itu marilah kita belajar menerima kepelbagaian sebagai anugerah Tuhan. Hidup saling melengkapi dan memperindah. Jiwa yang sehat adalah jiwa yang mempunyai rasa persaudaraan, bersyukur dan rukun, menjalani kehidupan yang selaras. Sehingga pada akhirnya akan kita menemukan yang namanya harmoni. Pandanglah pelangi! Keindahannya ada pada perbedaan warnanya, dan pelangi tidak akan pernah menjadi indah jika diantara warna-warna yang berbeda tersebut tidak bersanding bersama.
Allah yang maha kreatif membuat kita berbeda-beda,
agar kita saling melengkapi dan menjadi harmoni yang indah.