“Hepi Besdey ‘Koko’ Wuhan”, adalah sebuah tulisan yang ada di salah satu meme yang dikirimkan pada akhir Februari yang lalu di WA saya, untuk membantu mengingatkan bahwa kita semua sudah melalui masa pandemi ini selama 1 tahun. Meme tentang memperingati ulang tahun si ‘Koko’ Wuhan (penamaan candaan dari seorang Netter untuk Virus Covid-19 yang mula-mula terdeteksi di kota Wuhan ini), tentu saja bukan untuk kita sama-sama mendoakan agar si Virus itu panjang umur dan langgeng kebahagiaannya, tetapi untuk kita mengingat tentang kebaikan Tuhan; penyertaan Tuhan; anugerah dan kasih setia-Nya yang telah diberikan pada kita untuk kita bisa melewati satu tahun masa pandemi itu dengan selamat dan tidak kurang suatu apapun – Praise The Lord – serta terus ikut mendukung dalam doa dan usaha agar Virus-virus Covid-19 ini segera lenyap dari muka bumi ini. Amin.
Kalau kita flashback kembali pada awal masa pandemi yang telah membuat kita semua panik; bingung; tertekan; down; putus asa; kecewa dan berbagai kondisi lainnya yang telah mengharu-birukan kita secara lahir batin dan dampak buruk berkepanjangan yang bisa kita rasakan sampai saat ini, tentunya tidak sedikit ‘rasa pahit’ telah mempengaruhi kehidupan kita.
Meskipun di saat ini, seiring berlalunya waktu dan pertolongan kekuatan dari Allah Roh Kudus, kita bisa merasa lebih tenang; lebih memiliki pengharapan untuk bisa segera keluar dari Masa New Normal ini dengan adanya vaksin; kita bisa merasa lebih bersemangat dalam menyusun berbagai strategi usaha baru dan berbagai hal lagi yang menandai ‘kebangkitan’ kita dari rasa keterpurukan akibat ulah si ‘Koko’ Wuhan di setahun yang lalu, itu tentu saja merupakan semangat baik yang patut kita semua miliki dan rayakan apa bila pengharapan kita itu ke depannya bisa terealisir.
Namun ada satu lagi semangat yang harus kita miliki yang terlebih penting dari semua yang bersifat lahiriah itu, yaitu semangat untuk bangkit dari keterpurukkan secara rohani, dengan cara berintrospeksi tentang:
- Seberapa besar goncangan ‘teror’ Covid-19 dan dampak negatifnya dari pandemi ini – besar dan kecil – telah mempengaruhi keteguhan iman kita kepada Tuhan?
- Menyadarkan kita untuk kembali kepada Tuhan (back to God) dan kepada Kebenaran-Nya yang membebaskan (back to Bible)
- Agar kita kembali mengalami pemulihan dan mengingat keselamatan yang kita telah terima serta tugas kita sebagai pemegang Mandat Amanat Agung-Nya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa goncangan dan dampak pandemi selama satu tahun ini telah banyak menggoreskan kepahitan dan kekecewaan banyak anak Tuhan kepada Tuhan, sedangkan untuk pemulihan jiwa akibat goresan-goresan tersebut saat ini hanya tersedia dalam bentuk konseling dan ibadah atau pertemuan-pertemuan rohani via media sosial – yang bila kita mau jujur – hal itu tidaklah membawa kita pada pertumbuhan iman dan kekuatan pemulihan yang maksimal. Apalagi ditambah dengan adanya gangguan sinyal; gangguan fungsi HP kita; ketiadaan kuota maupun gangguan-gangguan lainnya, yang kadang malah membuat kita merasa kurang bergairah untuk mengikuti kegiatan-kegiatan rohani tersebut.
Ditambah lagi bila kita mengingat lebih menariknya menghabiskan waktu di dunia media sosial, seperti: Nonton aneka DraKor; DraChin atau Sinetron-sinetron; Berseluncur di dunia maya selama berjam-jam tanpa tujuan atau mungkin ada yang malah telah masuk ke situs-situs yang tidak benar; Ataupun memakai banyak waktu untuk hobi-hobi lama maupun baru yang kita terus pupuk selama masa pandemi ini, yang tadinya hanya sebagai ‘pembunuh’ kejenuhan saat PSBB, tetapi kemudian hal-hal tersebut menjadi sebuah kesukaan, maka hal-hal yang kita biasakan semakin dalam merasuk kita itu, tanpa disadari telah membentuk zona nyaman yang baru dalam kehidupan kita, yang akan dapat membuat kita terlena untuk mengabaikan pertumbuhan iman kita. Apakah hari-hari ini: Kita tidak merasa bersalah ketika memakai waktu lebih banyak untuk kesenangan daging dari pada lebih banyak waktu untuk senang bertemu dengan Tuhan dan memikirkan bagaimana cara menyenangkan hati-Nya? Apakah ada perasaan tidak nyaman ketika kita tidak membaca Alkitab dan berdoa lagi secara rutin? Apakah kita sudah merasa semangat pelayanan kita semakin kendor dan tambah kendor? Kita mulai tidak suka lagi pada pertemuan-pertemuan rohani? Kita mulai cuek terhadap hati nurani yang tidak lagi peka berempati pada kebutuhan sesama? Atau jeratan zona nyaman lainnya?
Pemazmur dalam Alkitab sangat paham arti dan akibat dari zona yang nyaman dalam kehidupan anak-anak Tuhan, sehingga ia berkata: “Bahwa tertindas itu baik bagiku, supaya aku belajar ketetapan-ketetapan-Mu.” (Mazmur 119:71). Pemazmur bukan orang yang anti kehidupan yang nyaman, namun banyak kali terlena oleh kehidupan yang nyaman akan membuat kita melupakan Tuhan dan kebenaran-Nya, yang akan menghancurkan bahkan membinasakan kita. Berapa banyak kehancuran rumah tangga, studi maupun masa depan bahkan iman seorang anak Tuhan terjadi karena terus terlena oleh kehidupan yang nyaman secara kedagingan? Apalagi jika ada intervensi iblis, yang mulai menarik kita ke kehidupan nyaman secara daging dan kemudian menjerat kita pada kehidupan kedagingan yang terlalu nyaman. Mari kita bayangkan apa yang akan terjadi? Bukankah Tuhan Yesus sudah mengatakan bahwa orang yang mau tetap beriman kepada-Nya harus menyangkal diri, memikul salib dan mengikut Dia (Matius 16:24)? Jangan mengikuti keinginan daging, tetapi hiduplah oleh Roh Kudus (Galatia 5:16)?
Dalam memperingati satu tahun masa pandemi yang telah kita lewati ini, mari kita sama-sama kembali pada kasih karunia dan anugrah Tuhan yang menyelamatkan, dengan keluar dari kehidupan yang menyamankan daging tapi membinasakan jiwa dan roh ini. Seperti sebuah quotes yang mengatakan: “Untuk berubah, kita harus rela menjadi tidak nyaman.” Firman Tuhan juga mengatakan: “Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi kehilangan nyawanya? Dan apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya?” (Matius 16:24).
Ayo bangun, segeralah siuman, karena saat ini kita sedang berada di penghujung jaman dan kita tidak bisa memastikan masih berapa banyak ‘Kuota’ hidup kita yang masih tersisa? Bila kita terus hidup dalam kelalaian dan kemudian kehilangan nyawa kita (keselamatan kekal), hal apa yang bisa menggantikannya? Mari kita pikirkan dengan seksama.
“Zona nyamanmu adalah zona bahayamu!!” (Gregg Plite)