Ada seorang dari daerah Benyamin, namanya Kish bin Abiel, bin Zeror, bin Bekhorat, bin Afiah, seorang suku Benyamin, seorang yang berada. Orang ini ada anaknya laki-laki, namanya Saul, seorang muda yang elok rupanya; tidak ada seorangpun dari antara orang Israel yang lebih elok dari padanya: dari bahu ke atas ia lebih tinggi dari pada setiap orang sebangsanya [1 Samuel 9:1-2].
Tetapi berfirmanlah TUHAN kepada Samuel : “Janganlah pandang parasnya atau perawakan yang tinggi, sebab Aku telah menolaknya. Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati [1 Samuel 16:7].
Sulit untuk dipungkiri, bahwa kita seringkali melihat seperti Samuel melihat, dimana Samuel menggunakan pengalamannya yang pertama ketika Tuhan memilih Saul sebagai raja Israel. Samuel melihat seorang yang elok dan tinggi perawakannya. Kita patut berhati-hati dengan hal ini, agar pandangan kita tidak terkecoh oleh sesuatu yang elok secara kasat mata. Namun Kisah Samuel ini seharusnya mengingatkan kita kembali bahwa sejatinya Tuhan tidak melihat hal-hal yang di luar, melainkan melihat hati kita. Sama seperti Tuhan memperlakukan Daud, demikianlah Tuhan juga akan memperlakukan kita oleh karena apa yang ada di hati kita, bukan karena apa yang kita punya, apa yang kita bisa atau rentetan prestasi kita selama ini. Saudara, Tuhan menjumpai Daud ketika Daud sedang mengembalakan kambing domba. Mungkin saja saat ini Tuhan juga ingin menjumpai kita, sekalipun kita merasa bahwa kita tidak sedang berada di puncak karir, atau merasa hanya melakukan hal-hal yang kelihatan biasa, bahkan mungkin tidak istimewa di mata manusia. Tetapi ayat di atas memberitahukan kepada kita bahwa Tuhan tidak terpesona oleh apa yang kita lakukan, melainkan oleh karena apa yang ada di dalam, yaitu motivasi hati kita melakukannya. Melakukan segala sesuatunya untuk Tuhan, bukan untuk dilihat orang.
Ingatkah kita, bahwa ketika Daud diurapi menjadi raja, Daud tidak langsung berada di istana dan memakai mahkota, melainkan Daud ada di padang gurun dan bahkan menjadi buronan ayah mertuanya sendiri. Beberapa diantara kita mungkin sedang dalam proses yang sulit, tetapi yang perlu kita ketahui bahwa kita adalah orang pilihan, karena Tuhan tahu hati kita. Setiap proses yang kita alami adalah tanda bahwa Tuhan sedang memurnikan hati kita, bukan penampilan luar kita. Satu-satunya yang bisa bertahan adalah bagaimana hati kita melekat kepada Tuhan. Bukankah posisi, jabatan, prestasi, karir, kekayaan dan apapun itu, bisa hilang dengan sekejap? Karena itu, milikilah hati yang terus bersandar pada-Nya dalam segala keadaan. Ujian hati bukan hanya datang pada saat kita mempunyai segala-galanya, tetapi juga pada saat kita tidak mempunyai apapun. Ujian itu datang untuk melihat apakah kita masih mempunyai hati yang sama atau tidak, karena hati kita tidak akan bisa berbohong, hati kita akan ada sebagaimana aslinya. Sekalipun kita bisa berbicara hal-hal rohani dengan sangat bagus, menampilkan sesuatu yang sangat meyakinkan orang, tetapi sebagaimana dia berpikir dalam hatinya, demikianlah ia sesungguhnya. Suasana hati kita, akan menentukan banyak hal. Mulai dari rumah, kantor, sekolah, pelayanan dan sekitar kita akan dipengaruhi oleh hati kita. Hati kita sangat menentukan respon kita terhadap segala sesuatu. Kita bisa salah berpikir, salah bertindak dan salah berespon ketika hati kita salah.
Marilah kita memperhatikan sungguh-sungguh hati kita. Berhentilah untuk hidup hanya sekedar membangun reputasi, penghormatan, penghargaan, pengakuan dan pujian manusia. Reputasi seringkali hanya membuat kita menuntut sesuatu dari orang lain atas apa yang telah kita kerjakan, sehingga kita tidak lagi bekerja dengan hati nurani yang murni. Akhirnya, jagalah hati kita dengan segala kewaspadaan, karena dari hati kitalah terpancar kehidupan.
MENJAGA HATI ITU BAGIAN KITA, BUKAN TUHAN.
BAGIAN TUHAN ADALAH MENYEMBUHKAN HATI.